Kelajah Alam: Ekspedisi Menyambangi Banyuwangi
Sesampai di Stasiun Banyuwangi Kota, kita langsung menuju Nitha Homestay
yang jaraknya hanya berapa langkah dari Stasiun. Harga homestay-nya ada di
kisaran Rp 100.000,- sampai Rp 200.000,- per malam. Cukup terjangkau untuk
turis berkantong tipis sepertiku. Walau harganya murah tapi nyaman dan bersih.
Sangat-sangat recommended.
Nitha Homestay
Tujuanku memilih homestay yang nempel sama stasiun
adalah untuk memudahkan akses dan menghemat biaya transportasi. Di depan
homestay banyak berjajar warung makan dengan harga yang pas di kantong. Setelah
beberes dan bersih-bersih kita langsung menuju warung makan demi tidur yang
lebih pulas.
Jum'at, 13 September 2024 Bisa dibilang hari Jum'at adalah hari tersibuknya kita. Pukul 05.45 WIB, kita sudah duduk manis di Warung Makan Lestari yang nempel dengan homestay. Aku memilih menu nasi pecel, kering tempe, ayam suwir plus jeruk anget yang dibanderol dengan harga Rp 20.000,-. Kemarin malam aku memesan nasi rawon plus es jeruk juga habis Rp 20.000,-. Harga makanan di Banyuwangi memang ramah di kantong dan rasa makanannya cocok untuk lidah Solo-ku.
Setelah sarapan kita langsung mengegas motor sewaan
menuju destinasi pertama yaitu Puskesmas Benculuk demi mencari Surat Keterangan
Sehat yang merupakan syarat wajib mendaki Ijen. Kita memilih cari Surat
Keterangan Sehat di Puskesmas Benculuk karena dua hal:
- Harganya murah Rp 10.000 kalau di klinik bisa Rp 40.000.
- Puskesmas Benculuk deket sama De Jawatan destinasi kedua kita.
Pukul 07.20 WIB kita sudah sampai Puskesmas Benculuk dan mendapat antrian no. 6 - 7. Sekitar 1 jam kemudian, selembar Surat Kesehatan berhasil kita dapatkan.
Jarak tempuh Puskesmas Benculuk ke De Jawatan hanya
3 menit. Tapi kami sempat sedikit tersasar jadinya butuh waktu 5 menit. Tiket
masuk 2 orang dan 1 motor harganya Rp 17.000. De Jawatan enggak terlalu luas
tetapi pohon Trembesi yang tumbuh besar dan dilapisi lumut-lumut menambah kesan
magis. Belum lagi semak-semak yang tumbuh subur di dalamnya, beneran berasa
sedang di tengah hutan belantara.
Banyak paket open trip yang menawarkan keliling
Jawatan naik Jeep. Ini aku numpang ngefoto Jeepnya dari jauh.
Biar berasa kembali ke masa lampau bisa juga naik kereta kuda. Kata Novita, dia takut melihat kereta kudanya karena mirip film Susana. Padahal kudanya pakai topeng Batman lho. Masa iya sih kaya film Susana.
Karena udah masuk waktu bagian makan siang, kita mencari warung makan sekalian. Aku makan lontong tahu, novita makan rujak. Pas novita pesen rujak, aku tanya "beneran kamu nggak makan nasi? cuma makan buah?". Terus dia bilang kalau di Jawa Timur, RUJAK = LOTHEK. O iya ding, aku lagi hidup di Jawa Timur, pikirku rujak adalah buah serut temannya lotis. Satu porsi lontong tahu plus es jeruk dibanderol dengan harga Rp 15.000,-.
Setelah mengisi tenaga kita melanjutkan perjalanan
melintasi hutan karet milik PTPN Kebun Sungai Lembu. Jalanan di PTPN Sungai
Lembu terbilang mulus, tapi siang itu jalanannya sepi banget. Beberapa kali
ketemu pengendara motor lain, tapi seringnya cuma kita berdua aja. Tiba-tiba
Novita nyeletuk "disini masih ada macan enggak ya?". Bulu kudukku
langsung merinding, "Udah ah.. jangan ngomongin macan".
Setelah membayar tiket masuk 15.000 untuk 2 orang
dan 1 motor, kita langsung lanjut ke parkiran atas. "Ikuti jalan sampai
aspalnya habis mbak, disitu tempat trackingnya" kata Mas penjaga loket.
Sesampai atas kita parkirin motor di dekat warung.
Ada 2 opsi untuk menuju Pantai Teluk Ijo. Pertama,
kita bisa naik kapal lewat Pantai Rajegwesi. Kedua, kita bisa tracking sejauh 1
km melintasi hutan dengan jalan berupa tangga. Kita pilih opsi yang kedua.
Alasan kita pilih opsi yang kedua adalah:
- Pantai Rajegwesi termasuk Pantai Selatan yang ombaknya lumayan besar, takut pusing terombang-ambing di kapal.
Kita khususnya aku, lebih suka disuruh membelah hutan daripada membelah lautan.
Sekalian pemanasan sebelum naik ke Ijen.
Hemat Rp 50.000. Naik kapal dari Pantai Rajegwesi harganya Rp 50.000 untuk pulang pergi.
Awal tracking, kita disuguhi dengan tangga-tangga
terjal menembus pantai Batu. Pantai Batu merupakan gerbang pembuka menuju
Pantai Teluk Ijo. Sesuai namanya, pesisir pantai ini dipenuhi dengan batu.
Menurut papan informasi batu-batu itu terbawa oleh aliran sungai dan terbawa
ombak berkekuatan tinggi sehingga bermuara ditepian pantainya.
Sesampai di Pantai Teluk Ijo, kita langsung
menikmati pasir putih yang halus dan air laut yang berwarna hijau kebiruan.
Mengutip dari papan informasi, fenomena warna hijau pada air laut dihasilkan
dari pantulan alga hijau yang ada di dasar perairan dangkalnya.
"Berlari-lari di taman mimpiku, imajinasi tlah menghanyutkanku, mimpiku
sempurna" kata fourtwnty.
Pukul 15.00 WIB kita menyudahi bermain air di
Pantai Teluk Ijo. Butuh waktu 30 menit untuk naik ke parkiran. Sebelum
melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir, kita istirahat dahulu di warung
sembari berbincang dengan ibu penjaga warung dan bapak parkir.
Pantai Teluk Ijo ke Pulau Merah berjarak 28 km dengan perkiraan waktu tempuh selama 48 menit. Selama perjalanan, kita diiringi matahari yang berangsur menurun. Kata google maps, kita akan sampai Pulau Merah pukul 17.07 WIB. Amanlah buat berburu sunset, batinku.
Mendekati titik lokasi kita merasa aneh. Soalnya
jalannya berubah menjadi sempit berpasir pantai. Awalnya aku kekeh kalau kita
berada di jalan yang benar. Tapi setelah kita lurus ada tulisan "Pantai
Gumuk Kancil". Lahh, gmapsnya salah titik.
Akhirnya pukul 17.15 WIB kita baru sampai Pulau
Merah. Delapan menit golden hour terbuang sia-sia. Waktu kita sampai loketnya
udah tutup jadi kita nggak membayar retribusi ataupun parkir.
Di pesisir Pulau Merah, aku nggak sempat mendokumentasikan banyak foto. Lebih fokus mengatur tripod untuk membuat timelapse. Kita duduk diatas pasir pantai sambil minum segarnya air kelapa. Satu gelundung kelapa dibandrol Rp 13.000,-. Bener kata Novita, kelapanya berat alias kelapa Jumbo. Minum kelapa sambil menikmati sunset plus dengerin deburan ombak mengingatkanku pada password wifi homestay: ENJOYYOURLIFE 😎
Sabtu, 14 September 2024. Pukul 00.30 WIB kita sudah sampai parkiran Ijen. Rasanya ingin protes, kok cepet banget sih sampainya, masih pengen tidur di travel Jarak Stasiun Banyuwangi Kota ke Kawah Ijen memang dekat hanya 41.8 km.
Pak sopir Damri mengantar kami di warung kenalannya
untuk melanjutkan istirahat ataupun memesan makanan. Kita menunggu loket dibuka
di warung tersebut. Pukul 01.30 WIB, penjaga warung mengabari kalau loket sudah
dibuka. Kita segera bergegas kesana sebelum antrean mengular.
Registrasi ke Kawah Ijen dilakukan secara online ya
di tiket.bbksdajatim.org. Bisa pilih bayar di
tempat. Setelah registrasi online, kita akan mendapat barcode pembayaran. Nah
di loket ini, kita wajib memperlihatkan surat keterangan sehat dan ktp. Tiket
masuk ke Kawah Ijen yang bentuknya mirip nota minimarket pun tercetak. Jangan
dibuang ya notanya soalnya pas gerbang dibuka, nota tersebut berfungsi sebagai
boarding pass.
Di Ijen banyak banget "taxi" -
"lamborghini" bertenaga manusia. Bapak-bapak ojek gerobak ini
semangat sekali menawarkan jasanya. "Taxi taxi.. Lamborghini. Bayarnya
bisa ditransfer" suara mereka meramaikan pendakian. Canggih juga bisa
ditransfer, yang penting jangan di paylater. Satu kali angkut naik dipatok
harga Rp 1.000.000, sedangkan satu kali angkut turun dipatok harga Rp 200.000 -
Rp 500.000. Ada beberapa wisatawan yang memakai jasa taxi ini. Pantes sih
harganya mahal, soalnya kalau naik yang mendorong gerobaknya tiga orang. Nggak
kebayang seengap apa bapak-bapak itu.
Jalur pendakian di Kawah Ijen cukup melelahkan
juga. Pasalnya jarang sekali ada bonus. Untuk ke Puncak Kawah Ijen kita harus
melewati 6 pos dengan jalanan berupa tanah padat. Panjang lintasan dari pos
Paltuding ke Puncak Kawah Ijen sejauh 3.4 km dan normalnya bisa ditempuh dalam
waktu 2 - 2,5 jam.
Kita berjalan dengan kecepatan keong. Di Pos 5, kita memutuskan berpisah demi kenyamanan bersama. Kita berani jalan sendiri-sendiri karena jalur pendakian Kawah Ijen ini ramai sekali orang dan ada sinyal. Bisalah kita saling mengabari posisi.
"Kamu duluan aja. Nanti ketemu di kawah" kata Novita.
Selepas membagi barang bawaan, aku langsung menyetel langkah agak cepat mengikuti langkah tour guide dan bule-bule yang dipandunya. Ngos-ngosan juga ngikutin langkah mereka sampai beberapa kali gonta-ganti rombongan karena ketinggalan. Selama perjalanan, aku membatin "Kok nggak sampai-sampai blue fire. Bukannya blue fire itu turun kawah ya? Ini kok malah habis turun terus naik lagi." Karena udah lelah menebak-nebak akhirnya aku bertanya sama orang yang berpapasan.
Aku: "Pak, blue fire ke arah mana ya?"
Bapak-bapak: "Blue firenya hari ini tutup mbak."
Aku: "Kok orang-orang jalan ke arah sana itu mau kemana ya Pak?"
Bapak-bapak: "Ke arah sunrise point mbak. Itu udah deket kok."
Yah, blue firenya tutup. Blue fire ini menjadi
atraksi menarik karena hanya ada dua di dunia. Kawah Ijen, salah duanya. Tapi
nggak papa kok, aku bisa ke Kawah Ijen ini aja udah beruntung banget. Toh aku
sering lihat blue fire di kompor gas. Gumamku membesarkan hati.
FYI, Kawah Ijen tutup dari bulan Juli karena
statusnya menjadi siaga. Di bulan Juli itu aku udah terlanjur booking travel
damri. Tapi aku sama Novita sepakat untuk tetap ke Banyuwangi. Jadi kita tetep
booking tiket KAI dan homestay sembari menunggu kabar baik: Kawah Ijen dibuka
kembali. Bulan Agustus, aku udah lega banget karena Ijen sudah kembali
berstatus normal. Tapi sampai akhir Agustus Ijen belum dibuka juga.
Di awal September, setiap hari aku ngepoin
instagram TWA Kawah Ijen dan instagram tour travel buat cari tau. Sempet turun
juga motivasiku, gimana ya kalau jauh-jauh ke Banyuwangi tapi nggak bisa ke
Kawah Ijen. Ibarat suatu hidangan, Kawah Ijen ini main coursenya.
"Pasrah ajalah, toh masih banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi. Kalau masih rejeki, pasti bisa aku kesana." Batinku dengan setengah ikhlas. Tanggal 7 September 2024, TWA Kawah Ijen membagi edaran kalau Kawah Ijen dibuka kembali. Syukur aku sembahkan, kehadirat-Mu Tuhan.
Aku sampai di sunrise point pukul 04.30 WIB. Segera
aku mengabari Novita kalau aku berada di sunrise point. Aku menikmati sunrise
bersama segerombolan orang asing. Menjadi asing ditengah keramaian ternyata
enak juga.
Pagi itu, angin di Puncak kenceng banget. Nggak
kuat aku berlama-lama untuk menunggu matahari muncul seutuhnya. Waktu aku balik
badan, ternyata di sisi sebelah kiri ramai orang. Aku pun penasaran, emang apa
sih pemandangan di sisi kiri? Ternyata pemandangan Kawah Ijen. Luas banget
kawah Ijen. Bisa dilihat dari belakang spot sunrise sampai diatas kawahnya
sendiri.
Waktu perjalanan balik, aku beberapa kali berhenti di beberapa spot untuk menikmati pemandangan Kawah Ijen dari sudut pandang yang berbeda. Ini sudut pandang Kawah Ijen dari hutan mati. Selagi memperhatikan sisi estetik kita harus tetap mawas diri untuk selalu berhati-hati. Kejadian turis China jatuh kayaknya di spot hutan mati ini.
Aku juga memotret Kawah Ijen tepat diatas jalur turun ke blue fire. Penambang belerang memanen belerang lewat jalur itu. Disini kita bisa menjumpai penambang belerang yang menjual souvenir khas Kawah Ijen: ukiran belerang Ijen. Di daerah ini ada kamar mandi ala kadarnya. Dengan membayar toilet Rp 5.000,- kita diberi satu botol air 600 ml untuk bebersih. Lumayanlah bisa kencing dengan tenang tanpa takut ketauhan orang. Soal kebersihan kamar mandinya, nggak usah diceritakan ya. Kalian pasti paham 😅
Aku juga sempat melakukan selfi dengan tanganku
yang kurang panjang ini untuk mendokumentasikan masker sewaan Rp 25.000 yang
tidak jadi berfungsi karena blue fire tutup. Kalau kita nggak turun ke kawah
buat cari blue fire, masker biasa cukup kok. Di sepanjang jalur pendakiannya
nggak bau belerang sama sekali.
Jalur pendakian di Kawah Ijen ini cukup melelahkan
juga. Untuk ke Puncak Kawah Ijen kita harus melewati 6 pos dengan jalanan
berupa tanah padat yang menanjak. Panjang lintasan dari pos Paltuding ke Puncak
Kawah Ijen sejauh 3.4 km dan normalnya bisa ditempuh dalam waktu 2 - 2,5 jam.
Aku butuh waktu 2,5 jam untuk naik dan 1 jam 15 menit untuk turun.
Aku baru bertemu kembali dengan Novita di sekitar Pos 1. Kita saling bercerita pengalaman pendakian selama mendaki secara ijen (sendirian) tadi. Kata Novita, dia hampir sampai ke blue fire karena ngikutin tour guide turis China tapi Novita milih puter balik karena udah ketinggalan rombongan ilegalnya itu. Pantesan tadi waktu di Puncak ada tour guide yang ngomel karena ada tour guide ngeyel yang mau anterin tamunya ke blue fire. Kita sampai kembali ke Pos Paltuding sekitar pukul 07.45 WIB. Kita sempetin dulu foto berdua di depan Kawah Ijen versi lukisan tembok karena tadi kita nggak ketemu di atas.
Travel damri mengantar kita kembali ke Stasiun
Banyuwangi Kota pukul 09.00 WIB. Belum juga travel keluar dari parkiran, kita
berdua udah tepar. Aku sesekali bangun untuk memastikan udah sampai mana tapi
langsung kembali terlelap. Padahal jalanannya bagus, melewati hutan-hutan
dengan pepohonan rapat. Tapi rasa kantukku terlalu kuat. Udah nggak bisa
memotivasi diri sendiri untuk tetap terjaga.
Pukul 10.00 WIB kita udah sampai homestay. Lumayan
bisa tidur di kasur dulu barang 1 jam. Nanti pukul 12.30 WIB kita akan dijemput
travel damri lagi buat ke Baluran. Emang hari sabtu ini petualangan kita
managed by damri.
Pukul 12.30 WIB kita udah dijemput bus damri dengan sopir yang sama. Kondisi kita udah lumayan seger karena udah tidur dan mandi, cuma belum sempat makan siang aja. Sesiang itu kita baru makan bakwan plus biskuit. Kita menumpangi travel dengan 10 orang lainnya: ada ibu dan anak dari Karanganyar, mbak-mbak dari Malang, dan ada juga warga asli Banyuwangi. Mendekati pintu masuk Baluran, tepatnya di pom bensin, Pak Sopir menghentikan mobilnya.
"Mbak saya berhenti beli pentol dulu ya. Pentolnya enak lho, monggo kalau ada yang mau beli juga." kata Pak Sopir.
Karena kita belum makan, belilah kita pentol
tersebut. Pak sopirnya nggak bohong, pentolnya enak. Terasa dagingnya dan
variatif isiannya. Sampai ada yang isi keju juga. Oh pantes ya, temenku yang
dari Jawa Timur selalu membanggakan pentol kebangsaannya. Emang seenak itu.
Wkwk.
Saat memasuki pintu masuk kita ditarik Rp 17.000
per orang untuk membayar tiket masuk dan parkir kendaraan. Kita menuju pantai
Bama yang terletak di dalam Baluran sebagai tujuan pertama. Sepanjang
perjalanan, kita bisa melihat hutan-hutan kering dengan pepohonan yang beragam.
Kita pun bisa menjumpai rusa, burung merak, tupai dan monyet dari kejauhan.
Kita serasa berada di "little Africa".
Kata Pak Sopir, di Baluran ini juga habitatnya ular
termasuk ular yang multitalent alias banyak bisanya: ULAR COBRA seraaaammm.
Akan kupatuhi deh tulisan "dilarang melewati batas" itu.
Saat tiba di parkiran Pantai Bama, banyak sekali
monyet ekor panjang di parkiran. Turun dari mobil, aku menenteng sampah
plastik. Niatnya ingin membuang sampah. Baru saja jalan beberapa langkah,
langsung kena bombastic side eye dari monyet nakal.
Waktu kecil, jariku pernah digigit monyet karena
mempertahankan permen. Karena pengalaman itu, tanpa pikir panjang aku langsung
melempar sampah plastikku. Si Monyet yang awalnya melompat ke arahku langsung
membalikkan badan dan kakinya mengenai perutku. Oke, belum apa-apa udah kena
tendang monyet.
Kita sampai Pantai Bama pukul 14.30 dan diberi
waktu 1 jam untuk mengitarinya. Pesisir Pantai Bama terlihat luas karena air
laut sedang surut. Ada beberapa kapal yang terparkir di pinggir pesisir dan dan
di belakang kapal ada plang bertuliskan "kapal dilarang beroperasi
saat air laut surut". Ada hutan bakau di Pantai Bama yang bisa
dijelajahi lewat mangrove trail.Sayangnya kita kurang mengeksplor hutan
bakaunya.
Kita lebih memilih duduk dibawah pohon rindang yang jauh dari monyet untuk makan bekal sembari menikmati angin pantai yang sepoi-sepoi. Aku berhasil menghabiskan 1 kotak oatmilk sedangkan Novita berhasil menghabiskan pentol.
Tiba-tiba dibelakang Novita ada seekor monyet. Monyet itu berhasil ambil barang dari tas Novita. Untung yang diambil cuma koyo. Kita berdua langsung menjauh sambil ngeliatin monyetnya buka koyo.
"Nov, kok aku kasian ya sama monyetnya. Kita kasih chocolate roll Dilan aja ya" ucapku.
Sambil balik badan, aku bukain bungkus wafer itu biar sampahnya ga dibuang sembarangan. Aku pun melempar wafer coklat ke arah monyet. Aku nggak kepikiran dia bakal makan secepat kilat dan langsung mendekat. Kuberanikan diri untuk mengusir dia, tapi malah aku yang takut. Serempak kita langsung lari dan monyetnya mengejar. Novita yang udah nggak bisa mikir langsung melempar "7+ Sereal Bar rasa coklat" yang disimpan di kantongnya. Waktu posisi sudah aman aku protes ke Novita.
"Kenapa kamu lempar snack yang itu?" protesku.
"Lha gimana, daripada kita dikejar." ujarnya membela diri.
Sehabis dikejar monyet itu, kita selalu tertawa cekikikan. Diperdaya dan dijambret seekor monyet ini jadi the funniest experience yang nggak bisa dilupakan selama di Banyuwangi. Andaikan ada dokumentasinya ya. Pengen lihat sepanik apa wajah kita saat itu.
Aku lebih tertarik foto di padang rumputnya yang
luas. Senada banget ya warna pakaianku dengan padang rumputnya. Aku kaya
bunglon lagi mimikri. POV: jadi petugas Balai Konservasi yang sedang melakukan
patroli padang rumput.
Di seberang spot tulisan "Savana Bekol"
ada tulisan "Dilarang Masuk Savana Mengganggu Satwa Liar" dan
"Dilarang Memberi Makan Satwa". Kejadian dikejar monyet adalah azab
karena melanggar pantangan kedua. Setelah ini kita akan bertaubat dan menjadi
pengunjung yang menjaga harkat martabat.
Setelah puas jepret sana jepret sini. Perjalanan
dilanjutkan ke spot foto yang kedua. Pajangan fosil kepala banteng ini
merupakan icon dari Taman Nasional Baluran. Fosil kepala banteng ini diambil
dari Banteng yang mati di hutan lalu kepalanya disusun berjajar di bilah kayu.
Keasliannya 100% kepala banteng.
Di Savana Bekol ini, kalau beruntung kita bisa melihat kawanan Banteng dari kejauhan. Tapi pada sore itu para Banteng tidak terlihat batang hidungnya. Spot foto kepala banteng menjadi penutup tour episode Baluran. Kita meninggalkan Baluran sekitar pukul 16.30 WIB. Di perjalanan pulang, penumpang travelpun turun satu persatu. Aku dan Novita menjadi peserta yang terakhir turun. Makasih ya bapak sopir damri yang seharian ini udah nganterin kita ke Kawah Ijen dan Taman Nasional Baluran. Berkatmu, kita bisa sampai tempat tujuan sembari mengganti jam tidur yang terlewatkan.
Minggu, 15 September 2024. Pukul 06.30 WIB, kita sudah mengemas barang bawaan dan mengembalikan kunci homestay. Di ruang tunggu Stasiun Banyuwangi Kota perasaanku campur aduk. Banyak senang karena akhirnya rencana liburan ke Banyuwangi terealisasi. Sedikit sedih karena liburannya cepat sekali usai.
Terimakasih ya Allah sudah memberkati perjalanan ini. Selama di Banyuwangi, alhamdulillah kita selalu dipertemukan dengan hal-hal baik: cuaca yang baik dan orang-orang yang baik. Terimakasih untuk Novita karena sudah mau menemani dan ikut mengimani semboyan "worrying gets you nowhere"-nya Trinity Traveler. Terimakasih juga untuk pembaca setia ekspedisi "Menyambangi Banyuwangi" 💛
Comments
Post a Comment