Kelana Alam: Ekspedisi Menyelam Ke Baduy Dalam
Mengutip kata Pak Paulo Coelho, “when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it”. Kata – kata itu nyata adanya setelah aku bisa mewujudkan Januari J-nya apa? JADI KE BADUY!
Alhamdulillah BADUY!
Semenjak menonton tayangan Asumsi Distrik dengan judul
"Buah Manis Jaga Kekayaan Leluhur Suku Baduy" di tahun 2022,
keinginanku berkunjung ke Baduy semakin menggebu-nggebu. Beberapa kali aku merencanakan
pergi ke Baduy dengan kelompok teman yang berbeda namun hanya berakhir wacana.
Hingga akhirnya di bulan Oktober 2024, seorang teman bernama Vidia nge-DM aku
di IG menanyakan apakah aku ada rencana ke Baduy. Rejeki nggak melulu soal
uang. Ditemukan teman yang punya bucketlist dan semangat yang sama untuk ke
Baduy juga rejeki. Setelah saling menelisik, ternyata kita bernasib sama:
sama-sama pengen ke Baduy tapi nggak ada temannya. Ya udah yuk kita gas ke
Baduy berdua. Untuk waktunya, nanti berkabar saja.
Beberapa bulan kemudian, kita sudah dapat tanggalnya. Bukan tanggal cantik,
soalnya dipilih secara asal. Asal dapat tiket kereta muraaaaah dan dapat segera
ditunaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. ASAP. Jadwal kereta muraaaaah ini
akan membawa kita mendapat pengalaman tidur di stasiun untuk pertama kalinya.
"Wkwkwk nggembel maksud anda." balas Vidia.
Singkat cerita, tibalah kita pada hari H ekpedisi.......
Jum'at, 10 Januari 2025 tepatnya pukul 20.15 WIB ekspedisi
"Menyelam ke Baduy Dalam" dimulai. Stasiun Purwosari menjadi starting
point kita untuk melangkahkan kaki ke ujung Jawa Barat. Kereta Bengawan seharga
74.000 adalah moda transportasi yang kita pilih. Siap-siap "Duduk Tegak
Grak!" selama 9 jam 30 menit.
Sabtu, 11 Januari 2025. Kereta membawa kita melewati stasiun demi stasiun. Tepat di Stasiun Purwokerto
dan sederetnya, aku jatuh cinta pada theme song stasiunnya. Lagu Keroncongnya
berjudul Ditepinya Sungai Serayu. Coba deh dengerin, rasanya kaya diseret ke
masa lampau. Tidurku dalam perjalanan tidak terlalu lelap, maklum aku tim tidur
matiin lampu. Sedangkan kereta ekonomi tidak ada mode remang-remang.
Pukul 05.40 WIB kita sudah sampai di St. Jatinegara. Kita harus melanjutkan
perjalanan dengan KRL menuju St. Rangkas Bitung. Rute KRLnya St. Jatinegara -
St. Tanah Abang. Di St. Tanah Abang kita ganti kereta St. Tanah Abang - St.
Rangkasbitung.
Stasiun Jatinegara
Ini pengalaman naik KRL pertama kali kita di Jabodetabek. Tak heran jika tiap
belokan tangga kita pasti tanya Pak Satpam arahnya harus kemana. Di dalam
kereta, kita baca rute KRL nya. Kita baru bisa paham setelah pindah-pindah
stasiun. Seminggu sebelumnya aku udah tanya temanku yang di Jakarta dan
dikirimi rute itu tapi masih bingung gimana maksudnya. Emang paling enak itu
learning by doing.
Sepagi itu, KRL rute St. Jatinegara ke St. Tanah Abang udah ramai. Kita dapat
jatah berdiri. Sempet khawatir kalau nanti yang dari St. Tanah Abang ke St.
Rangkasbitung penuh gimana. Nggak kuat kalau disuruh berdiri 2 jam lebih dengan
gendong tas carrier.
Beruntung KRL dari St. Tanah Abang ke St. Rangkasbitung sepi dan kita bisa
duduk. Selama perjalanan ke St. Rangkasbitung aku bisa tidur pulas sementara
Vidia mainan HP kayaknya.
Stasiun Rangkasbitung
Kita sampai St. Rangkasbitung pukul 08.40 WIB dan langsung menuju masjid
At-Taqwa yang bisa ditempuh dengan 8 menit jalan kaki untuk numpang mandi.
Diluar prediksi, ternyata jalannya lewat tengah pasar. H-3 sebelum ekspedisi
aku udah bikin rundown salah satunya perihal kapan harus mandi dan dimana
tempat menumpang mandi. Vidia kusuruh mandi duluan. Kita bergantian jagain
barang.
"Ojo kaget ya Fah" kata Vidia selepas mandi.
Tapi aku tetap aja kaget karena airnya mirip kalau aku ngerjain sampel biota
atau air laut. Warnanya coklat. Apa dekat pantai ya Rangkasbitung ini? Turun
KRL tadi juga gerah banget. Teringat kegerahanku saat pertama kali menginjakkan
kaki di St. Tawang Semarang.
Terminal Rangkasbitung
Kita menuju meeting point tepatnya di parkiran motor stasiun. Untuk naik
travelnya kita harus ke terminalnya dengan sedikit jalan kaki. Aku sedikit
takjub, ada ya tempat sefull set itu. Stasiun, pasar, terminal jadi satu
lokasi. Vidia beranggapan Rangkasbitung sebagai pusat peradabannya Banten
Angkutan Full AC Alami
Kita masuk travel pukul 10.15 WIB. Sebelumnya Vidia sudah menjelaskan dia akan
memusuhi orang - orang pemabuk. Pemabuk perjalanan maksudnya. Santai Vid, dalam
kondisi fit aku sudah tobat jadi pemabuk. Apalagi naik mobil yang anginnya
sepoi-sepoi. InsyaAllah aman.
Terminal Ciboleger
Kita sampai di terminal Ciboleger pukul 11.50 WIB. Travelnya cuma mengantar di
pinggir terminal aja karena macet banget. Bau kampas rem berhamburan dijalan
karena posisinya tanjakan curam. Kita dibimbing Tour Leader kita untuk Ishoma
di Basecamp.
Untuk makan siangnya aku pilih makan hati. Seporsi nasi hati, sayur, lalapan, es teh dihargai Rp 25.000. Kataku es tehnya rasa kelapa, kata Vidia es tehnya
rasa teh sisri, kata mbak Dea es tehnya rasa pandan. Ah udahlah terserah,
paling enak emang es teh Solo.
Sabtu, 11 Januari 2025. Pukul 13.10 WIB. Kita berkumpul di depan Basecamp untuk diabsen kembali dan melakukan pemanasan
sebelum long march ke Baduy Dalam. Biar nggak kram kata tour leader kita.
O iya, aku dan Vidia ikut open trip dari wisuba. Ada beberapa paket yang ditawarkan:
a. Paket reguler PP via Ciboleger dengan harga 200.000
b. Paket mix. Bisa jauh - dekat. Bisa dekat - jauh dengan harga 255.000
c. Paket fast track PP via Cijahe dengan harga 255.000
Kita memilih paket mix jauh - dekat. Berangkat via Ciboleger, pulang via
Cijahe.
Alasan kita memilih paket mix adalah biar experincenya dapet dan nggak terlalu
kelelahan. Ingat perjalanan kita dari Solo - Jakarta - Rangkas Bitung -
Ciboleger - Baduy Dalam - Cijahe - Rangkas Bitung - Jakarta - Solo kalau
ditotal bisa mencapai ribuan kilometer. Jangan sampai pingsan dijalan.
Peserta open trip dibagi beberapa team. Aku dan Vidia masuk kelompok 2 yang
akan bobok di rumah Ayah Ani. Kelompok kita berjumlah 19 orang dengan ditemani
2 tour leader: kak Nurman dan kak Jay beserta porter akamsi anak Baduy asli:
Narwan, Reba dan Sarip. Jasa pemakaian porter untuk 1 tas sekali jalan adalah
Rp 50.000. Worth it kok untuk kalian yang ingin memperingan beban tulang
punggung.
Sebelum menyusuri desa Ciboleger, kita foto bareng-bareng dulu di tugu
fenomenal bertuliskan "Selamat Datang di BADUY".
Selamat Datang BADUY!
Boom boom boom. Perjalanan longmarch dimulai. Ketika masuk ke Desa Ciboleger
(Baduy Luar) kita disuguhi rumah adat yang berjajar rapi. Kanan kirinya banyak
yang jual cinderamata dan oleh-oleh khas Baduy.
Di Baduy Luar ini kita masih bebas menggunakan alat elektronik. Silakan
puas-puasin mengabadikan momen mumpung masih diperbolehkan.
Jamet style for a while
Tour leader memberhentikan kita di spot-spot foto favorite. Sekalian
membenarkan nafas mari foto dulu dengan "senyumnya mana senyumnya? harus
kelihatan bahagia ya…"
FYI, di Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak ada penunjuk jalan ataupun
rambu-rambu. Tidak ada tulisan Belok Kiri Ikuti Lampu, adanya Belok Kiri Ikuti
Kata Hati. Adanya open trip ini sangat membantu sekali. Tour Leadernya udah
hafal jalan. Modal kita hanya Tut Wuri Handayani. Setelah menembus hutan “setengah”
belantara, akhirnya kita disuguhi pemandangan Danau Dangdang Ageung Baduy yang
dikelilingi oleh pepohonan hijau. Asyik kali ya kalua Danau Dangdang Ageung
dijadiin tempat camping. Sorenya mancing, malemnya bikin api unggun sambil
bakar ikan. Sssst, khayalan macam apa itu.
Hutan "setengah" Belantara
Danau Dangdang Ageung
Selama perjalanan, kita beberapa kali berpapasan dengan penduduk Baduy. Ada
bapak yang angkut duren hingga ibu gendong anak. Dilihat dari pakaiannya ibu
ini orang Baduy Luar. Batik biru khas Baduy Luarlah yang menjadi penandanya.
Penduduk Baduy Luar
Kita juga melewati sawahnya orang Baduy. Unik sekali bentuk sawahnya, karena
tidak ada pematangnya. Padi yang ditanam disini adalah Padi Gogo yang bisa
dipanen setahun sekali. Padi Gogo yang dipanen langsung disimpan di dalam
lumbung dan hanya akan digunakan jika ada acara adat seperti pernikahan,
khitanan, ataupun renovasi balai adat. Untuk konsumsi beras sehari-hari,
masyarakat Baduy biasanya membeli beras dari luar. Lumbung padi ini letaknya
dibuat jauh dari tempat tinggal warga. Alasannya untuk berjaga-jaga jika
terjadi kebakaran di rumah, ketahanan pangan mereka tetap terjaga.
Areal Persawahan
Lumbung Padi
Kembali ke cerita tracking. Kita menuruni lereng untuk menuju kampung terakhir
di Baduy Luar. Dari tadi kita jalan naik turun bukit. Hanya sedikit jalan yang
lurus aja. Memang ini seninya: seni nyobain cobaan tracking di Baduy.
Di kampung terakhir ini kita istirahat sambil beli es. Ada es lho di Baduy,
Vidia sampai tercengang. Pas di Basecamp dia dengan percaya dirinya bilang di
Baduy nggak ada es batu, jadi dia mencemplungkan es batu sisa es tehnya di
tumbler.
Awalnya aku mau pesan es tea jus sedangkan Vidia mau pesan es air putih.
Tiba-tiba mata kita melihat bungkus good day yang dijembreng di dalam bilik.
Bertanyalah Vidia berapa harganya. Ternyata harganya sama. Dengan sepenuh hati
kita langsung ganti "es good day aja buk jadinya".

Hari yang Baik di Baduy = Good Day at Baduy. Cheers.
Kita melanjutkan perjalanan hingga sampai perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam
dibatasi dengan Sungai kecil. Setelah menyeberang sungai, kita harus mematikan
perangkat elektronik karena disana udah masuk wilayah Baduy dalam. Be wise ya
gais. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Selamat tinggal Baduy Luar. Saatnya mendetoks diri ini dari handphone. Saatnya
menyelam ke Baduy Dalam. Saatnya merenung dan berdialog kepada diri sendiri.
Saatnya menikmati alam tanpa sibuk memikirkan dokumentasi. Dokumentasinya
direkam di kepala dan disimpan saja dalam hati.
Selamat tinggal Baduy Luar 👋
Di Baduy Dalam nanti kita akan menginap di desa Cibeo. Perjalanan menuju desa
Cibeo ini panjang juga. Butuh waktu 2 jam dari perbatasan tadi. Jalur yang
dilaluipun lebih curam daripada jalur di Baduy Luar.
Karena udah tidak fokus dengan handphone atau alat elektronik lainnya, kita
jadi lebih peduli dengan satu sama lain. Berkenalan, bertukar cerita, ngobrolin
hal random kaya "kamu tau nggak sih, ini itu mirip . . . " sambil
memberi semangat ataupun memberi rambu bayaha "awas disini licin.." Menurutku
tempat ngobrol terasyik ada di jalur tracking asal pas nafas normal ya. Kalau
ngos-ngosan mah mending diam atur nafas.
Menuju tempat peristirahatan kedua hujan pun turun. Sebagian kita memakai
mantol plastik warna-warni. Memakai mantol bisa jadi ritual penghenti hujan.
Dan benar saja, tidak lama kita berjalan, hujan berhenti. Kita baru melepas
mantol di tempat peristirahatan ketiga.
Sepanjang perjalanan di Baduy Dalam aku terharu banget bisa diberi kesempatan
menapakkan kaki di tempat se-chill and relax ini. Baduy Dalam yang nggak pernah
terekspos kamera memberi banyak kejutan. I feel immersed in the Magical Baduy
Dalam.
Pemandangan cantik yang pertama disuguhkan adalah pemandangan Gunung Salak dan
Gunung Gede Pangrango yang terlihat dari atas bukit. Aku puas-puasin lihatnya
biar tersimpan kuat diingatan.
Pemandangan cantik yang kedua adalah sungai-sungai kecil yang mengalir di
sela-sela jalan. Walaupun yang mengalir bukan air susu tapi aku teringat lirik
lagu Sal Priadi "Adakah sungai-sungai dilintasi dengan air susu?"
Pemandangan cantik yang ketiga adalah hutan rimbun dengan sedikit celah yang
mengirimkan cahaya sore. Aku sampai berulang kali bilang ke Vidia "Kok
rasane awake dewe lagi ning ngendi ngono yo Vid."
Pemandangan cantik yang keempat adalah ketika melintasi jembatan bambu yang
panjang. Disekelilingnya ada anak kecil Baduy bercanda sambil mandi di sungai.
Kalcer sekali.
Pemandangan cantik yang kelima adalah ketika masuk desa Cibeo. Jalannya dari
batu yang tersusun rapi. Rumah-rumah panggungnya berjajar, dindingnya terbuat
dari anyaman bambu, atapnya terbuat dari daun kelapa yang dikeringkan, tidak
ada gemerlap lampu. Aaaaaaaa, aku lagi dimana sih ini. Pertanyaan itu kembali muncul
di kepalaku.
Kita sampai di rumah Ayah Ani sekitar pukul 18.00 WIB. Saat itu langit belum
sepenuhnya gelap. Di rumah ayah Ani ada dua bilik. Kita dipersilakan masuk di bilik utama. Setelah membereskan barang-barang dan
rebahan sejenak, kita mengeluarkan baju ganti dan alat mandi. Alat mandinya
cuma handuk aja ya. Di Baduy kita tidak boleh mandi pakai sabun. Sebagai
gantinya kita diberi Daun Honje nama lain dari Daun Kecombrang. Bersama
ciwi-ciwi lainnya aku dan Vidia berangkat ke Bilik samping sungai. Buat kamu
yang tidak percaya diri mandi di sungai bisa mandi di bilik. Biliknya tidak
beratap, hanya dipagari dengan anyaman bambu. Samping kanan-kiri banyak
pepohonan. Beneran, pengalaman pertama kali mandi ditengah hutan.
Di dalam bilik, air dialirkan dari bambu menggunakan gaya gravitasi. Airnya
mengalir deras. Gemrojog basa Solone. Gayungnya pakai batok kelapa. Bak
mandinya pakai kayu yang dikerok tengahnya, dan pijakannya dari bambu. Kita menggantungkan
baju ganti di batang bambu samping bilik. Deg-degan kalau baju gantinya jatuh.
Selepas mandi dan sholat saatnya masuk ke waktu bagian makan malam. Kita dijamu
dengan sayur asem, ikan asin, tempe goreng, dan sambal kecombrang. Padu padan
yang klop. Beneran the best combo.
Untuk minumnya, kita diberi gelas dari Bambu. Air minumnya di wadahi botol
reagen yang mirip kaya botol H2SO4-nya Smart Lab. Entah mereka dapat botol itu
darimana. Alhamdulillah aman-aman saja sih selama minum. O iya airnya terasa
segar, Vidia sampai tambah sebanyak 4 gelas.
Selepas makan malam, kita lanjut di acara sharing session dengan narasumber
Ayah Ani. Kita mengumpulkan oleh-oleh yang kita bawa ditampah untuk cemilan
bersama. Kita ditawarin nyobain air nira yang masih fresh. Baru diambil sore
tadi. Rasanya enak menurutku.
O iya sebelum dimulai kita perkenalan dulu satu-satu: nama, asal, kesibukan,
tujuan ke baduy, zodiak. Kebanyakan tujuan ke Baduy karena lagi musim durian.
Iya sih, durian juga jadi tujuan keduaku ke Baduy. Tujuan utamaku akan kubahas
di akhir saja ya. Kita bisa tanya sepuasnya tentang Baduy ke Ayah Ani. Dari
sharing session ini kita bisa dapat funfact tentang Baduy.
Salah satu funfactnya adalah anak kecil baduy dari kecil udah dipegangi golok,
golok itu sebagai pena mereka sedangkan ladang sebagai buku mereka. Walaupun
mereka anak-anak dan memegang senjata tajam, tapi mereka bijaksana dalam
menggunakannya. Tidak seperti pak Polisi yang menembak siswa di Semarang. Uupss.
Tubuh anak baduy kuat-kuat. Walaupun masih umur sembilan tahunan, mereka bisa
angkut dua hingga tiga tas sekaligus. Mana jalannya cepet lagi dan tidak ngos-ngosan.
Apalah kita pemuda jompo ini.
Untuk funfact lainnya, silakan kalian berkunjung ke Baduy
ya. Silakan dengerin banyak funfact dari pakarnya secara langsung.
Setelah sharing session, kita bebas mau ngapain. Aku pilih siap-siap tidur aja
tapi sebelumnya aku mau ke sungai dulu bareng mbak Dea. Hajat kecil sih yang
ingin kutunaikan. Sedangkan mbak Dea ingin menunaikan hajat yang tidak kecil
alias ......(isi sendiri)
"Kamu nggak takut Fah ke sungai cuma berdua sama aku?" tanya mbak Dea
pas perjalanan ke sungai.
"Enggak mbak. Kan kita nggak mau macem-macem disini." jawabku
Semenjak cut off mengonsumsi cerita horor aku jadi lebih pemberani. Tidak
sepenakut dulu. Tapi kalau sendirian masih takut. Minimal beri aku satu teman
maka akan kukalahkan rasa takut itu. Sesampai di sungai kita langsung mematikan
senter dan mencari spot masing-masing. Aku nungguin mbak Dea di pinggir sungai
dengan duduk di batu.
Wajahku ku dongakkan menatap langit yang berwarna putih itu sambil fokus
dengerin aliran sungai. Beberapa kali aku melihat kunang-kunang lewat tapi tidak
bilang punten. Kalau bilang punten aku malah pingsan kali ya.
Tidak lama setelah kita kembali ke rumah ayah Ani, hujan turun. Alhamdulillah
ya, nggak kena hujan di sungai.
Aku segera menggelar sleeping bag untuk alas tidur. Aku malas masuk ke
kantongnya karena belum terlalu dingin. Tidur diiringi suara hujan ditambah
suasana remang-remang dari lampu minyak membuatku cepat tertidur pulas.
Approved buat tim tidur mati lampu.
Pukul 04.00 WIB, aku dibangunin Vidia buat shalat subuh. Bersama mbak Ifa
Bandung, kita jalan bertiga menuju bilik. Butuh effort banget jalan menuju
bilik dengan nyawa masih separoh. Rasanya kesandung-sandung dan hampir
terjungkal.
Setelah menunaikan sholat subuh aku melanjutkan tidur sampai jam 06.30 WIB.
Langsung kulipat sleeping bag-ku. Kulihat Vidia juga melipat sleeping bag, tapi
tidak lama setelah itu dia gelar lagi sleeping bagnya dan tidur lagi. Untuk
mengisi kekosongan waktu, aku mulai packing. Biar nanti tidak buru-buru. Maklum
kalau di Zootopia aku agak mirip Kukang: klelar-kleler.
Setelah Vidia bangun, mungkin sekitar jam 07.30 WIB, kita ke bilik lagi buat
gosok gigi. Boleh gosok gigi asalkan nggak pakai pasta gigi. Ketika aku dan
Vidia balik ke rumah, ternyata sudah pada siap sarapan. Menunya masih sama tapi
tanpa sayur asem.
Selepas sarapan kita lanjut di acara sesi makan durian. Satu durian ukuran
tanggung di Baduy dibanderol dengan harga Rp 35.000. Tekstur duriannya creamy,
cenderung manis dan ada sedikit rasa pahit. Enaqq
Kita menikmati Durian di dekat pintu sambil bertukar cerita. Duriannya sudah
habis tapi obrolannya masih berlanjut. Ada aja yang diobrolin. Pagi itu
Baduy Dalam diguyur hujan. Aku dengerin cerita sambil bengong melihat hujan.
Ada hal lucu yang bikin aku dan Vidia melongo yaitu ketika mbak Dea berhasil
membuka topik pembicaraan hingga memperkenalkan toko rangkaian anggreknya dan
membagikan kartu nama ke mbak Janna dan mbak Arum. Bridgingnya mulus banget.
Curiga mbak Dea lulusan S3 Marketing.
Pukul 10.15 WIB, kita berkumpul di halaman. Bersiap untuk longmarch ke Cijahe.
Sebelum meninggalkan Baduy Dalam, kita berpamitan dulu dengan bapak-bapak yang
ada di pos ronda. O iya, di Baduy Dalam ada kegiatan meronda. Tujuannya adalah
menjaga desa kalau sewaktu-waktu kedatangan tamu. Tapi mereka tidak ronda
sampai malam. Malam waktunya tidur. Begadang jangan begadang.
Saat kita memulai long march hujan sudah reda. Kita melewati rumah-rumah
penduduk. Rumahnya sepi, sepertinya ditinggal pemiliknya pergi ke ladang. Di
Baduy Dalam ini banyak anak kecil, tapi kok aku tidak mendengar sama sekali ya
anak kecil tantrum. Bahkan malamnya sempat dengar tangisan bayi pun enggak yang
kencang, nangisnya kalem. Baduy dalam jauh dari Bokem: bocil kematian.
"Kan mereka dibesarkan oleh alam Fah, jadi nalurinya beda." kata teman kostku bernama bu Erna ketika aku bercerita tentang ajaibnya anak Baduy.
Baduy Dalam dibagi menjadi 3 desa. Desa Cibeo tempat kita menginap, Desa
Cikeusik yang aku tidak tahu disebelah mananya ini dan Desa Cikertawarna yang
akan kita lewati nanti. Di Desa Cikertawarna ini banyak tabib alias dokternya
orang Baduy.
Selama perjalanan ke Baduy Luar, kita disuguhi oleh tekstur tanah liat yang
berbeda-beda. Ada yang benyek banget yang kalau kita jalan bunyinya
"klenyek---klenyek".
Emang susah sih obstacle jalanan non aspal kalau hujan gini. Beberapa kali aku
hampir kepleset dan ada juga beberapa teman yang udah kepleset. Kita sampai
sering bergandeng tangan agat tidak terpeleset.
Setelah hampir 2 jam berjalan akhirnya kita sampai di perbatasan Baduy Luar. Disini
kita sudah diperbolehkan menggunakan alat elektronik lagi. Di jembatan bambu ini kita berhenti agak lama
untuk foto-foto. Jembatan bambunya unik gais: tiangnya dari bambu, alasnya dari
bambu dan talinya pakai ijuk. Bambu-bambu ini nggak dipaku sama sekali tapi
tetap kokoh, kuat tak tertandingi.
Dibawah jembatan bambu ada sungai besar yang alirannya cukup deras. Maklum
kemarin malam dan tadi pagi habis hujan. Teman-teman ada yang turun ke Sungai
bawah jembatan. Tapi aku dan Vidia memilih untuk segera menyeberang jembatan.
Sambil menunggu teman-teman berfoto di jembatan bambu, aku dan Vidia
menyempatkan turun di Sungai kecil seberang jembatan untuk mencuci sepatu.
Seenggaknya lumpur-lumpur di bawah sol sepatu bisa hilang dulu.
Sekitar jam 12.45 WIB kita melanjutkan kembali perjalanan. 15 menit setelahnya
kita sampai di kampung pertama di Baduy Luar. Akhirnya setelah melintasi hutan,
kebun, ladang dan sungai, kita bisa masuk ke kampung atau desa lagi.
Di kampung Baduy Luar ini lumayan ada kehidupan. Tadi sebelum masuk kampung
kita bertemu dengan bapak-bapak yang menyerut kayu untuk rangka dan tiang
rumah. Ketika memasuki kampung, kita bertemu dengan adek Baduy yang mau
dipotret dengan monyet peliharaannya. Melangkah ke beberapa rumah lagi, kita
bisa melihat ibu-ibu yang sedang menenun di teras rumahnya.
Tiba-tiba hujan turun lumayan deras. Ya sudah kita pakai mantol sekalian
numpang istirahat. Di rumah ibu ini ada kucing. Mumpung Vidia lagi
nguyel-nguyel kucing, aku mau bahas kucing Baduy. Kucing Baduy yang kutemui
kalem-kalem tidak petakilan seperti kucingku. Kata Vidia, di rumah ayah Ani ada
kucing tapi kok nggak kedengeran meong-meong ya atau keluar di ruang tengah
lari-lari petakilan gitu. Sampai-sampai pas kita ketemu kucing Baduy yang
mengeong, kita tercengang.
"Loh jebule iso ngeong"
Udah ah, aku harus menjadi Babu yang bijak. Tidak boleh membandingkan kenakalan
kucingku dengan kesopanan kucing Baduy. Mungkin aku yang salah dalam pola
pengasuhan kucing.
Setelah istirahat yang cukup lama, kita akan melanjutkan perjalanan di tengah
hujan. Mari kita trabas jalanan becek lagi!
Oke bos? Oke.
Di tengah perjalanan, kita menjumpai aliran air di bambu. Mbak Dea minum airnya
sekaligus ngerefill botol minumnya mbak Sarah. Aku pun turut menyicipi air
segar Baduy langsung dari sumbernya. Vidia udah nggak mau lagi, kayaknya udah
puas dengan kesegaran 4 gelas air Baduy yang semalam.
Mumpung belum keluar dari Baduy dan lagi-lagi hujan-hujanan di jalan. Saatnya
memikirkan kembali apa tujuanku ke Baduy.
Saat sharing session aku menyebutkan tujuanku ke Baduy ada 2:
1. Ingin menyelam ke Baduy Dalam
2. Sambil menyelam makan durian
Kalau diperinci lagi, menyelam di Baduy Dalam yang kumaksud adalah inginku
menyelami diriku sendiri untuk mengenal arti kata cukup. Di Baduy, aku melihat hubungan yang harmonis antara pencipta, manusia dan
alamnya. Manusia menaati pencipta dengan tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
Alam mereka rawat dan jaga sepenuh hati. Alampun membalas budi dengan memberi
penghidupan untuk orang-orang Baduy. Mereka bahagia dan tercukupi. Merasa cukup erat hubungannya dengan rasa syukur. Dan rasa syukur erat hubungannya
dengan bahagia.
Benar kata Idgitaf, dewasa tidak seindah yang kukira. Banyak rasa takut dan
kecewa. Tapi bukankah kita masih layak bahagia?
Kata Jim Rohn, "happiness is not by chance, but by choice."
Kataku, aku iyain aja kata mereka.
Dengan mengenal arti kata "cukup" aku ingin memegang dua hal dalam hidup:
1. Menjalani garis takdirku dengan penuh rasa syukur.
2. Selalu berprasangka baik dengan sang pencipta. Tuhan Maha Baik percayalah.
Tidak mudah memang menjadi orang yang selalu merasa cukup. Bahkan rasa takut
juga merupakan ujian bagi manusia hidup. Tapi semoga Tuhan selalu memampukan
kita melewati ujian dan selalu memberkahi kita dengan rasa cukup.
Ya beginilah cerita hidup. Kadang di atas, kadang di Baduy.Pukul 14.00 WIB, kita sudah sampai penghujung desa Baduy Luar. Tinggal
ngelewatin jembatan bambu sekali lagi kita udah bisa leyeh-leyeh di Basecamp. Setiba di Basecamp, aku pesen es nutrisari
sweet orange dan seporsi mie rebus telur. Enak lur.
Di basecamp, aku dan Vidia ditanyain sama ex penghuni rumah Ayah Ani tentang
kepulangan kita ke Solo. Kujelaskanlah jika kita pulang ke Solo hari Senin jam
05.55 WIB. Hari ini rencananya mau numpang mandi di masjid Istiqlal dan
bermalam di stasiun Ps. Senen.
"Kamar mandinya masjid Istiqlal enak kok buat mandi. Masjidnya tutup jam
22.00 WIB. Kalian bisa bermalam disana. Di emperan masjidnya. Biasanya
banyak orang yang kaya gitu juga. Baru balik Stasiun pas subuh." saran
salah satu teman.
Mbak Sarah, kembali menawari kita tidur di rumahnya. Aku dan Vidia sudah
dibujuk menginap dirumahnya dari Sabtu siang, waktu kita makan siang sebelum
longmarch. Pas baru kenal banget pokoknya. Mungkin kalau di total sudah lebih
dari 5x ajakan itu diserukan.
Thanks mbak Sarah anak Betawi asli for your hospitality. Si Doel anak Betawi
pasti bangga padamu. Aku dan Vidia menolak karena kami terlalu Putri Solo untuk
Jakarta yang sat-set wat-wet. Takut kedubrayakan di pagi hari. Hihihi.
Sekitar 15.30 WIB, kita diangkut kembali dengan travel dari terminal Cijahe
menuju St. Rangkasbitung. Butuh waktu 2 jam untuk sampai ke St. Rangkasbitung.
Aku dan Vidia dapat duduk di bangku belakang tepatnya dibawah sound system
mobil. Volume musiknya kencang sekali, jedag-jedug, menggetarkan hati.
Kombinasi yang pas dengan jalan yang gronjal-gronjal.
Sepanjang perjalanan aku hanya tidur-tidur ayam. Kunikmati saja perjalanan
gronjalan meliuk-liuk naik turun bukit itu. FYI, karena sampingku bawa durian,
travelnya jadi semerbak bau durian. Masih mendinglah daripada Stella Jeruk.
Sesampai di St. Rangkasbitung, kita langsung tap in. Setelah duduk di kereta
ada kejadian lucu yaitu "inspeksi durian". Kita disuruh membuka
barang bawaan. Karena di travel tadi hidungku sudah teracuni bau durian,
jujur hidungku jadi kurang sensitif. Aku nggak tahu kelanjutannya. Apakah
pelaku pembawa buah berbau tajam itu tertangkap atau tidak. Doaku semoga dia
aman. Durian enak soalnya, jangan sampai pindah tangan
Untuk ke masjid Istiqlal rute yang harus kita lewati adalah St. Rangkas Bitung
- St. Tanah Abang (transit) - St. Manggarai (transit) - St. Juanda. Tapi karena
Vidia ingin take a BREAK for BERAK (permainan kata ini aku jiplak dari
statusnya Vidia wkwk) kita berhenti dulu di St. Palmerah. Baru nanti dari St.
Palmerah kita lanjut ke St. Tanah Abang.
Stasiun Palmerah
Di St. Palmerah ini aku melakukan kebodohan. Ceritanya, sembari menunggu Vidia,
aku jalan-jalan di sekitaran Stasiun untuk mengambil gambar. Barang berhargaku
dan barang berharga Vidia kubawa. Sedangkan tas carrierku dan tas ransel Vidia
kutinggal saja di kursi sebelah kiri kamar mandi.
Setelah memfoto St. Palmerah mataku tertuju pada stop kontak di sebelah kanan
kamar mandi. Numpang ngecharge ah! Di kursi itu, ada dua bapak-bapak: 1 sedang
mengecharge HP dan 1-nya memangku kucing. Bapak pemangku kucing menanyaiku
apakah aku punya makanan kucing. Kujawab tidak. Terus bapak itu minta tolong
dibelikan roti keju buat makan kucing, kalau roti coklat kucingnya nggak doyan
katanya. Aku pun setuju, soalnya kucingku gitu. Bapaknya bilang: "HPnya
ditinggal aja gapapa neng, saya jagain" katanya. Aku pun tetap menitipkan
hpku kepada bapak yang sedang ngecharge HP dan bergegas beli roti keju. Di
minimart, aku beli dengan buru-buru karena kepikiran hp-ku. Pas aku lewat depan
kamar mandi Vidia udah selesai.
Alhamdulillah hpku tetap ada ditempat, kuberikan roti keju kepada bapak
pemangku kucing. Kuceritakanlah kejadian itu kepada Vidia, semoga nggak mules
lagi ya dia melihat kelakuanku. H-4 sebelum ke Jakarta aku sudah diwanti-wanti
sama temanku secara langsung. Dia bilang kalau ada orang aneh mending
menghindar aja. Maafkan aku lupa mencatat pelajaran itu. Aku tidak tau bapak
itu berniat scamming atau memang pure orang aneh aja. Tapi kalaupun itu
scamming, alhamdulillah aku cuma keluar uang 7 ribu untuk roti keju.
Stasiun Tanah Abang
Kita bergegas turun untuk naik KRL ke St. Tanah Abang. KRL di Jakarta keren,
jam operasional berdekatan. Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk kereta
berikutnya. Dari St. Tanah Abang, kita ganti kereta untuk ke St. Manggarai. Di
St. Manggarai ini, kalau nggak salah ingat, ada 3 lantai lintasan KRL. Kita
harus naik ke lantai 3 untuk ke St. Juanda. Sebelum sampai St. Juanda, kita
melewati St. Cikini dan St. Gondangdia. Kita sampai St. Juanda sekitar pukul
21.00 WIB.
Stasiun Manggarai
Stasiun Juanda
O iya, ongkos KRL dari St. Rangkas Bitung ke St. Juanda hanya 9 ribu, kemarin
dari St. Jatinegara ke St. Rangkas Bitung juga habis 9 ribu. Murah sekali.
Andai aja ada KRL Solo - Semarang, bisa kali ya aku jadi anak laju. Aku jadi
kepikiran dengan gambaran padatnya KRL jika di hari kerja. Orang-orang pada
lari-larian mungkin juga senggol-senggolan. Tidak sanggup rasanya kalau aku
disuruh hidup di Jakarta.
Di St. Juanda, kita tanya Pak Satpam kemanakah arah ke masjid Istiqlal. Pak
Satpam menjelaskan kita bisa lewat jembatan penghubung. Seturun dari jembatan
kita malah salah belok ke arah Monas. Belum sampai Monas sih, cuma kelihatan
aja atapnya yang membara. Dijalan itu, kita tanya lagi ke bapak parkir.
Ternyata masjid Istiqlal terletak disamping tangga jembatan. Moral value:
"malu bertanya, sampai di Monas".
Masjid Istiqlal
Gereja Katedral
FYI, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral menjadi simbol kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Keduanya terletak bersebelahan dan saling berhadapan. Perbedaan iman yang dibatasi oleh sebuah jalan.
Sesampai di masjid Istiqlal, kita melewati pintu Al - Fatah hingga akhirnya
sampai di deretan kamar mandi putri. Kamar mandinya berderet panjang.
Sebenarnya aku hampir putus asa karena di deretan awal, tidak ada kamar mandi
yang ada baknya.
Aku udah bilang ke Vidia, tanya pak Satpam aja yuk. Tapi Vidia tetap mau
mencoba berjalan sampai ujung. Ternyata ada yang ber bak juga. Yeayy, bisa
mandi. Kita selesai mandi sekitar pukul 21.40 WIB dan baru selesai repacking
pukul 21.50 WIB. Kita sampai dihampiri pak Satpam dan dikasih tau masjidnya
udah mau tutup.
Kita nego, pak Satpam biar aku dibolehin numpang sholat dulu. Aku sholat di
lobby lantai satu, bukan tempat sholat sebenernya. Ada Pak Satpam yang baik
yang mengarahkanku buat menggelar sajadah di tempat yang bersih. Aku sholat
sendiri karena Vidia sedang berhalangan.
Setelah sholat kita berniat mencari makan di Family Mart di bawah tangga stasiun.
Tenyata udah tutup pukul 22.00 WIB. Aku pikir semua yang di Jakarta serba 24
jam. Kita pun berjalan keseberang. Ada Warung Nasi Goreng Madura dan Warung
Nasi Padang. Vidia yang otaknya masih bisa mikir memberi ide makan di Warung
Nasi Padang aja, sing lampune padang, sekalian numpang ngecharge. Bolehlah.
"Wanita macam apa ini yang jam sebelas malam makan Nasi Padang." kata
Vidia setelah makanan datang.
Tapi mending lho, daripada makan sate jatuhnya kaya adegan film Suzana pas jadi
Suketi si Sundel Bolong.
Selepas makan, kita memutuskan untuk bermalam di St. Pasar Senen saja. Kita
memesan Gocar dengan tarif Rp.27.000. Pukul 00.00 WIB, stasiunnya masih sepi.
Kita pilih bangku yang dekat dengan charger station, sekalian ngecharge HP.
Beginilah bentukan kita yang mau tidur di stasiun. Apakah bisa tidur?
Jawabannya tidak.
Pukul 02.00 WIB, kita ngelayap ke Pasar Kue Subuh dekat stasiun. Sesuai namanya
Pasar Kue ini dijejali dengan banyak penjual kue. Mungkin kalau di Solo ada
pasar semacam ini bisa dinamakan dengan Pasar Tenongan kali ya.
Sedini hari itu, udah banyak banget orang kulakan di Pasar. Sebuah penampakan
Jakarta sebelum pagi. Harga makanan disini murah banget asli, lebih murah dari
makanan yang dijual di Solo. Lemper, tahu bakso, naga sari, dkk dijual serba
dua ribuan. Ada yang lucu, di Pasar ini juga jual roti tart. Roti tartnya nggak
ditaruh di lemari pendingin. Kita tidak terlalu lama keliling pasar. Hanya beli
beberapa jajanan saja dan langsung caww.
Pas balik ke Stasiun, aku melihat masjid yang semula jadi opsi tempat mandi
kalau tidak jadi mandi di Istiqlal. Namanya Masjid Raya Al Arif. Aku baca
tulisannya masjid buka pukul 11.00 - 20.00 WIB. Alhamdulillah ya, kita
memutuskan pilihan yang tepat untuk mandi di Masjid Istiqlal. Setelah
kupikir-pikir, kalau masjidnya buka jam 11.00 WIB, berarti masjidnya tidak
dipakai buat subuhan ya? Apa aku yang salah baca?
Balik dari Pasar Kue Subuh, kita baru bisa tidur lelap. Waktu itu stasiunnya
udah rame. Kita dapet kursi di depan mushola. Banyak juga orang-orang yang
tidur buat nunggu kereta. Bentukanku pas turu ya Allah.
Pukul 05.00 WIB, cek in counternya baru dibuka. Kita bergegas masuk ke kereta.
Belum juga keretanya berangkat kita udah tepar. Aku terbangun waktu sudah
sampai Stasiun Cikarang. Selanjutnya kegiatanku di kereta adalah tidur, makan,
nonton drakor, repeat.
Di depan bangku kita, ada ibu bersama satu anaknya. Umur tiga tahunan mungkin.
Ada pertanyaan yang bikin aku ngakak. Anak laki-laki itu tanya ibunya gini:
"Ma, kalau kebelet eek bisa ditahan?"
Dek, dua tante di depanmu ini terbukti bisa menahan rasa itu
Setelah 9 jam 30 menit di dalam kereta, pukul 15.22 WIB akhirnya kita touch
down di Solo Purwosari. Sesampai Solo kita disambut dengan hujan yang rintik-rintik di kala sore itu.
Ini kita mau naik Bus BST (Batik Solo Trans) untuk menuju rumah masing-masing.
Ceritanya hari ini full pakai transportasi umum. Beginilah perjalanan membaduy
kita teman-teman.
Tak lupa, akan kuucapkan terimakasih ala laporan Study Tour
dulu. Terimakasih ya Allah atas penjagaan dan keselamatan yang telah engkau
berikan. Berkat-Mu, perjalanan ini lancar tanpa suatu kendala. Terimakasih
partner "Menyelam ke Baduy Dalam"-ku, Vidia. Denganmu di awal tahun
ini aku sudah bisa menunaikan petuah Dalai Lama yang berbunyi "Once a
year. Go some place you've never been before". Terimakasih teman-teman
kelompok 2 yang selama open trip yang sudah berbagi cerita dan keseruannya
dalam menjalani petualangan ini. Terimakasih juga kepada teman-teman yang sudah
support dan setia mengikuti kisah ini.
See you on the next trip!
Comments
Post a Comment